Konsep “Tuhan” dan Ketuhanan: Tinjauan Linguistik, Pancasila, dan Teologi Islam

April 22, 2025

10 menit teks

Asal-Usul Linguistik Kata “Tuhan” dalam Bahasa Indonesia

Secara etimologis, kata Tuhan dalam bahasa Melayu-Indonesia berakar dari kata tuan, yang berarti majikan, pemilik, atau penguasa (Tuhan – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas). Dalam penggunaan klasik, tuan ditujukan kepada manusia yang dihormati atau berkuasa (misal: tuan rumah, tuan tanah), bukan kepada sosok ilahi. Perubahan makna tuan (bernuansa insani) menjadi Tuhan (bernuansa ilahi) bermula pada era kolonial, khususnya melalui penerjemahan Alkitab ke dalam Bahasa Melayu oleh sarjana Belanda, Melchior Leijdecker, tahun 1733 (Tuhan – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas).

Sebelum Leijdecker, terjemahan Alkitab beraksara Latin oleh Brouwerius (1668) masih menggunakan tuan untuk menerjemahkan kata Yunani Kyrios (gelar “Tuhan/Lord” bagi Yesus dalam teologi Kristen) (Tuhan – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas). Leijdecker lalu menyisipkan huruf “h” pada tuan sehingga menjadi Tuhan guna membedakan konteks ilahi Isa Almasih dari konteks manusiawi (Tuhan – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas). Inovasi linguistik ini – sejalan dengan pola ejaan masa itu seperti utang menjadi hutang (Ada Dua Tuhan di Indonesia – Kompasiana.com) – memberikan nuansa baru: Tuhan ditujukan eksklusif kepada Yang Ilahi. Penerjemah-penerjemah Alkitab setelah Leijdecker konsisten memakai istilah Tuhan sebagai padanan Lord dalam konteks ketuhanan, sehingga lama-kelamaan Tuhan menjadi lema baku untuk menyebut sosok adikodrati tertinggi dalam bahasa Melayu/Indonesia (Tuhan – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas). Menurut Ensiklopedi Populer Gereja (1976) yang dikutip Remy Sylado, istilah Tuhan memang berhubungan dengan tuan yang bermakna atasan/penguasa, namun melalui proses “pensakralan” istilah oleh pemakaian dalam teks religius Kristen, maknanya bergeser menjadi “penguasa tertinggi” yang transenden (Sejarah Nama Tuhan dalam Tradisi Agama Samawi Halaman 3 – Kompasiana.com) (Sejarah Nama Tuhan dalam Tradisi Agama Samawi Halaman 3 – Kompasiana.com).

Pengaruh terhadap Konsep Ketuhanan dalam Pancasila. Masuknya kata Tuhan ke dalam kosakata keagamaan Nusantara berpengaruh saat perumusan dasar negara Indonesia. Sila pertama Pancasila dirumuskan sebagai “Ketuhanan Yang Maha Esa” – di mana kata Ketuhanan jelas dibentuk dari kata Tuhan. Pemilihan istilah ini mencerminkan konsep divinity (ketuhanan) yang tunggal dan maha tinggi tanpa menyebut nama agama tertentu. Menariknya, frasa Yang Maha Esa secara eksplisit menekankan keesaan Tuhan (monoteisme). Menurut catatan sejarah, frasa ini diusulkan oleh KH. Wahid Hasyim pada detik-detik akhir sidang BPUPKI tahun 1945 sebagai pengganti rumusan Piagam Jakarta, demi menegaskan konsep tauhid namun tetap inklusif bagi semua agama (Buya Hamka Sebut Sila Ketuhanan yang Maha Esa Akar Pancasila dalam Sejarah Hari Ini, 25 Agustus 1976). Dengan memakai terminologi Ketuhanan yang netral, para penyusun Pancasila bermaksud agar setiap pemeluk agama di Indonesia dapat mengakui sila ini menurut keyakinan masing-masing, tetapi penambahan sifat Maha Esa memastikan bahwa yang dimaksud adalah Tuhan yang satu, Supreme Being yang tunggal (Buya Hamka Sebut Sila Ketuhanan yang Maha Esa Akar Pancasila dalam Sejarah Hari Ini, 25 Agustus 1976). Dengan demikian, secara linguistik-historis, kata Tuhan yang awalnya diserap melalui terjemahan Alkitab turut membentuk konsepsi sila pertama Pancasila sebagai landasan spiritual bangsa: pengakuan terhadap eksistensi satu Tuhan tertinggi yang maha esa.

Sila Pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Perspektif Aqidah Islam

Secara teologis Islam, Ketuhanan Yang Maha Esa sejalan dengan konsep Tauhid, yaitu keyakinan akan keesaan Allah Ta’ala. Umat Islam meyakini bahwa sila pertama ini pada hakikatnya merujuk kepada Allah semata sebagai satu-satunya Tuhan yang Maha Esa. Pandangan para ulama menegaskan bahwa frasa “Yang Maha Esa” tidak memberi ruang bagi konsep ketuhanan yang pluralistik atau politeistis; ia menekankan keesaan zat Tuhan sebagaimana termaktub dalam kalimat syahadat Lā ilāha illā Allāh (Tiada tuhan selain Allah). Buya Hamka – ulama dan Ketua MUI pertama – menyatakan bahwa rumusan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sudah cukup bagi umat Islam, dan setiap muslim semestinya meyakini bahwa Tuhan Yang Maha Esa yang dimaksud tak lain adalah Allah SWT, bukan yang lain (Buya Hamka Sebut Sila Ketuhanan yang Maha Esa Akar Pancasila dalam Sejarah Hari Ini, 25 Agustus 1976). Beliau bahkan mengibaratkan sila pertama sebagai “akar” atau urat tunggang Pancasila yang menjiwai keempat sila lainnya, sehingga menolak sila ini sama artinya dengan menolak akidah Tauhid (Pandangan Kritis Buya Hamka terhadap Pelaksanaan Pancasila).

Dari perspektif sejarah perumusan Pancasila, kompromi sila pertama ini lahir dari diskusi antara golongan Islam dan kebangsaan. Naskah Piagam Jakarta (22 Juni 1945) semula memuat tujuh kata tambahan yang lebih eksplisit Islami: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” (Piagam Jakarta – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas). Namun, demi persatuan nasional dan menghargai pemeluk agama lain, para pendiri negara sepakat menghapus “tujuh kata” tersebut pada 18 Agustus 1945. Sebagai gantinya, kata “Yang Maha Esa” ditambahkan. Menurut catatan Andrée Feillard, penambahan kata Esa ini secara tegas menggarisbawahi konsep keesaan Tuhan (tauhid) yang dianggap tidak dimiliki secara tegas dalam agama selain Islam (Buya Hamka Sebut Sila Ketuhanan yang Maha Esa Akar Pancasila dalam Sejarah Hari Ini, 25 Agustus 1976). Akhirnya, rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” diterima semua pihak sebagai dasar negara yang monoteistis. Bagi umat Islam, maknanya identik dengan pengakuan akan Allah Yang Maha Tunggal, sedangkan umat non-Muslim dapat mengartikannya sesuai konsep ketuhanan agama masing-masing asalkan mengakui satu Tuhan tertinggi.

Para ulama klasik dan kontemporer pun sepakat bahwa prinsip Pancasila tersebut tidak bertentangan dengan akidah Islam. Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dianggap sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an, “Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa” (QS Al-Ikhlas 112:1), dan dengan inti dakwah tauhid para nabi. Tokoh pergerakan Islam Indonesia seperti Haji Agus Salim dan Mohammad Natsir mendukung Pancasila karena sila pertamanya mengandung tauhid, sehingga umat Islam Indonesia tetap dapat berpegang teguh pada ajaran Lā ilāha illā Allāh dalam kerangka ideologi negara. Kesimpulannya, dari sudut pandang aqidah murni Islam, Ketuhanan Yang Maha Esa pada Pancasila hakikatnya merupakan penegasan terhadap keesaan Allah SWT sebagai Tuhan seluruh alam, dan bukan dimaksudkan sebagai kompromi untuk menyamakan semua tuhan berbagai agama. Bahkan, menerima sila pertama berarti mengakui kebenaran tauhid; Hamka pernah berujar bahwa menolak Ketuhanan Yang Maha Esa sama saja dengan kufur terhadap tauhid (Pandangan Kritis Buya Hamka terhadap Pelaksanaan Pancasila). Oleh karena itu, umat Islam memaknai Pancasila sila kesatu ini sebagai dorongan konstitusional untuk semakin memperkuat keimanan kepada Allah Yang Maha Esa dan menjauhi segala bentuk syirik (mempersekutukan Tuhan).

Rasulullah ﷺ sebagai Manifestasi Kesempurnaan Allah: Perspektif Salaf dan Sufi

Dalam teologi Islam, khususnya pandangan tasawuf (mistisisme Islam), Nabi Muhammad ﷺ dipandang sebagai manusia paripurna (al-insān al-kāmil), manifestasi tertinggi dari segala kesempurnaan sifat-sifat Ilahi di alam semesta. Para salafus shalih (generasi awal Islam) tentunya tidak menganggap Nabi sebagai makhluk ilahi, tetapi mengakui beliau sebagai hamba Allah terbaik yang mencerminkan kemuliaan akhlak dan sifat yang Allah anugerahkan. Ulama sufi besar seperti Ibn ‘Arabi menjelaskan bahwa seluruh nama dan sifat Allah termanifestasi secara paling sempurna pada diri Muhammad (Sufism – Wikipedia). Menurut Ibn ‘Arabi, hakikat pertama yang diciptakan Allah adalah hakekat Muhammad (al-haqīqah al-Muhammadiyya) – sering diistilahkan sebagai Nūr Muhammadi (cahaya Muhammad) – yang menjadi sumber spiritual bagi seluruh makhluk (Sufism – Wikipedia). Maka, Muhammad ﷺ dipandang sebagai makhluk termulia dan pemimpin sekalian makhluk. Bahkan dikatakan, “barangsiapa mengenal Muhammad secara hakiki, ia akan mengenal Tuhannya”, sebab keagungan akhlak dan pribadi Nabi adalah cermin sifat-sifat Allah (Sufism – Wikipedia). Dengan kata lain, kesempurnaan yang ada pada diri Rasulullah – seperti kasih sayang, keadilan, kejujuran, dan hikmah yang tiada banding – merupakan pantulan (tajalli) dari kesempurnaan Allah sendiri, dalam batas yang dapat diwujudkan oleh manusia. Ini sejalan dengan sabda beliau, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”, di mana kesempurnaan akhlak itu merupakan manifestasi kehendak dan sifat Allah (Ar-Rahman, Al-Adil, Al-Haqq, dll.) dalam kehidupan manusia.

Dalam tradisi tasawuf, Rasulullah ﷺ diposisikan sebagai guru agung dan sumber dari segala jalan tarekat. Sering dikatakan bahwa Nabi Muhammad adalah “Pemimpin para Sufi” (SUFISM vs. “SUFI-CLAIMERS” – Association of Islamic Charitable Projects in USA). Maksudnya, beliau merupakan teladan utama dalam aspek hakikat dan makrifat (pengetahuan batin tentang Allah). Seluruh silsilah (rantai spiritual) tarekat Sufi pasti bermuara pada Nabi Muhammad, melalui jalur para sahabat beliau. Para Sufi meyakini bahwa jalan tasawuf hakikatnya adalah upaya meneladani kehidupan spiritual Rasulullah – dari mulai kezuhudan beliau, kekhusyukan ibadahnya, kedalaman dzikir dan doanya, hingga rasa cinta beliau kepada Allah. Oleh karena itu, semua sahabat Nabi dipandang sebagai generasi Sufi pertama, dalam arti mereka telah menghayati ihsan (keinsafan spiritual) di bawah bimbingan langsung Rasulullah. Pernyataan “seluruh sahabat adalah Sufi” bukan berarti mereka menamakan diri Sufi saat itu, tetapi menunjukkan bahwa kualitas keimanan dan ketaqwaan mereka mencapai derajat ihsan yang menjadi tujuan tasawuf. Kaum Sufi di kemudian hari meyakini bahwa khulafā’ rāsyidīn dan para sahabat utama telah mencapai maqām spiritual tinggi – Abu Bakar misalnya mencapai derajat Shiddiq (benar dalam iman), Umar dalam keadilannya, Utsman dalam kedermawanannya, Ali dalam ilmunya – yang semuanya adalah nilai-nilai inti tasawuf. Tokoh ulama klasik Imam Malik RA bahkan berkata, “Barangsiapa berfikih (mempelajari syariat) tanpa bertasawuf, ia fasik; barangsiapa bertasawuf tanpa berfikih, ia zindik. Hanya yang menggabungkan keduanya lah yang hak (benar)” (Sufism – Wikipedia). Ucapan ini mengindikasikan bahwa sejak generasi awal, aspek lahir (syariat) dan batin (hakikat/tasawuf) Islam telah berjalan beriringan.

Gelar “Raja Para Sufi” bagi Nabi Muhammad ﷺ muncul dari penghormatan bahwa tak ada ahli ruhani yang melebihi beliau. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, seorang wali sufi tersohor, disebut Sultannya para Wali, namun ia sendiri berserah bahwa semua karamah dan makrifat para wali adalah setetes air dari samudera kemuliaan Rasulullah. Literatur tasawuf menegaskan Nabi Muhammad sebagai al-Qutb al-A’zam (poros agung) atau Imam bagi seluruh awliya’ (wali Allah) dan arif billah sepanjang masa (SUFISM vs. “SUFI-CLAIMERS” – Association of Islamic Charitable Projects in USA) (SUFISM vs. “SUFI-CLAIMERS” – Association of Islamic Charitable Projects in USA). Dengan demikian, dalam pandangan aqidah Sunni dan tasawuf ortodoks, Rasulullah ﷺ bukan Tuhan atau unsur ketuhanan, melainkan manusia hamba Allah paling sempurna yang menjadi cermin bagi mengenal Allah. Seluruh kesempurnaan yang ada pada makhluk terhimpun pada diri beliau (Sufism – Wikipedia), sehingga beliau adalah model ideal yang harus diteladani oleh para pencari Tuhan. Julukan seperti Habibullah (Kekasih Allah) dan Syâfi’ al-mudznibîn (pemberi syafa’at pendosa) menunjukkan ketinggian maqam beliau di sisi Allah, namun semuanya tetap dalam kerangka bahwa beliau adalah abdullah (hamba Allah) yang paling taat. Intinya, konsep Rasulullah sebagai manifestasi kesempurnaan Ilahi mengajak umat untuk melihat keteladanan Nabi sebagai jalan menuju ridha Allah – karena sifat-sifat Allah termanifestasi secara purna dalam sunnah dan akhlak Rasulullah ﷺ (Sufism – Wikipedia).

“Memandang Wajah Allah” sebagai Tujuan Tertinggi Kehidupan Manusia

Dalam ajaran Islam, visi beatifik (ru’yatullah, melihat Allah) diyakini sebagai puncak kenikmatan spiritual dan tujuan tertinggi kehidupan orang beriman. Memandang Wajah Allah secara langsung hanya akan terjadi kelak di akhirat bagi para penghuni surga yang diridhai-Nya. Dalil Al-Qur’an dan hadits menyebutkan keutamaan ini dengan jelas, dan para ulama salaf maupun sufi sepakat menganggapnya sebagai karunia terbesar yang melebihi kenikmatan apapun. Berikut penjabaran teologis dan spiritual mengenai konsep ru’yatullah:

  • Dalil al-Qur’an: Allah berfirman, “Wajah-wajah (orang-orang beriman) pada hari itu berseri-seri, memandang kepada Tuhannya (QS Al-Qiyamah 75:22-23) (Memandang Wajah Allah Azza wa Jalla Anugrah Terbesar di Surga | Almanhaj). Ayat ini menegaskan bahwa di Hari Akhir orang beriman akan benar-benar melihat Allah dengan mata kepala mereka, sehingga wajah mereka bersinar bahagia oleh anugerah luar biasa tersebut (Memandang Wajah Allah Azza wa Jalla Anugrah Terbesar di Surga | Almanhaj). Dalam ayat lain, disebutkan “Bagi orang-orang yang berbuat baik (al-muḥsinīn) disediakan al-ḥusnā (pahala terbaik/surga) dan tambahannya (QS Yunus 10:26). Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa yang dimaksud “tambahan” di sini adalah melihat wajah Allah di surga (Memandang Wajah Allah Azza wa Jalla Anugrah Terbesar di Surga | Almanhaj). Penafsiran ini datang dari hadits sahih, sehingga para ulama tafsir seperti Ibnu Katsir dan Ath-Thabari menetapkan ru’yatullah sebagai makna “tambahan kenikmatan” bagi ahli surga (Memandang Wajah Allah Azza wa Jalla Anugrah Terbesar di Surga | Almanhaj). Dengan demikian, Quran sendiri menunjukkan bahwa visi terhadap Allah adalah puncak ganjaran bagi orang beriman.

  • Dalil Hadits Nabi: Banyak hadits shahih menegaskan aqidah ru’yatullah. Salah satu yang masyhur, Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat bulan pada malam purnama; kalian tidak berdesak-desakan dalam melihat-Nya” (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari-Muslim). Hadits lain yang diriwayatkan dari Suhaib Ar-Rumi RA menyebutkan gambaran dialog di surga: setelah penghuni surga masuk, Allah bertanya “Apakah kalian menginginkan sesuatu tambahan?”. Mereka menjawab, “Bukankah Engkau telah memutihkan wajah kami, memasukkan kami ke surga, dan menjauhkan kami dari neraka?”. Lalu Allah menyingkap hijab (tabir)-Nya, sehingga tiada kenikmatan yang lebih mereka cintai daripada memandang Wajah-Nya (Memandang Wajah Allah Azza wa Jalla Anugrah Terbesar di Surga | Almanhaj). Rasulullah menegaskan, itulah anugerah tertinggi melebihi semua nikmat sebelumnya. Para perawi terpercaya seperti Imam Muslim dan Tirmidzi mengabadikan riwayat ini, dan para ulama menerima hadits tersebut sebagai kabar gembira bahwa visi Allah adalah klimaks kebahagiaan di Jannah.

  • Pandangan Ulama Salaf: Keyakinan bahwa orang beriman akan melihat Allah di akhirat termasuk bagian dari aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ulama klasik Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (w. 321 H) dalam Aqidah Thahawiyyah menulis: “Melihat wajah Allah Azza wa Jalla bagi penghuni surga adalah kebenaran yang pasti, tanpa meliputi zat-Nya dan tanpa menanyakan bagaimana caranya” (Memandang Wajah Allah Azza wa Jalla Anugrah Terbesar di Surga | Almanhaj). Pernyataan ini menegaskan bahwa ru’yatullah benar adanya, namun bila kaifa (tanpa membagaimanakan) – artinya manusia akan diberi kemampuan khusus yang kita tidak dapat bayangkan di dunia. Imam Al-Muzani (murid Imam Syafi’i) juga berkata: “Pada hari kiamat, para penghuni surga akan melihat Rabb mereka tanpa ragu…” (Memandang Wajah Allah Azza wa Jalla Anugrah Terbesar di Surga | Almanhaj), dengan wajah ceria dan mata terpenuhi kenikmatan memandang-Nya. Konsensus salaf menyatakan bahwa visi Allah terjadi di akhirat secara nyata, namun Allah tidak menyerupai apapun (QS 42:11) sehingga cara melihat-Nya berbeda dari melihat makhluk. Kaum Mu’tazilah di masa lalu menolak konsep ru’yatullah secara literal, tetapi ditolak oleh mayoritas ulama karena bertentangan dengan zahir Quran dan hadits. Bagi Ahlus Sunnah, mengingkari ru’yatullah berarti menafikan salah satu kenikmatan terbesar yang dijanjikan Allah untuk orang beriman. Mereka menegaskan sikap tanzīh (menyucikan Allah dari keserupaan dengan makhluk) dan tafwīḍ (menyerahkan hakikat caranya kepada Allah) dalam memahami ru’yatullah (Memandang Wajah Allah Azza wa Jalla Anugrah Terbesar di Surga | Almanhaj). Intinya, memandang Allah diyakini terjadi dengan mata kepala di surga, namun dalam keadaan yang hanya Allah yang tahu, sebagai karunia istimewa bagi hamba-hamba-Nya.

  • Dimensi Spiritualitas (Tasawuf): Para sufi dan ahli ma’rifat menaruh kerinduan mendalam untuk kelak berjumpa dan memandang Allah. Rabi’ah al-Adawiyah, seorang sufi wanita tersohor, konon tiap malam berdoa sambil menangis: “Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena rindu surga, jangan masukkan aku ke dalamnya; jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, jauhkan neraka dariku; tetapi jika aku menyembah-Mu semata karena rindu pada-Mu, maka jangan Engkau halangi aku dari melihat Wajah-Mu.” Doa legendaris ini menggambarkan bahwa bagi para wali, puncak tujuan ibadah adalah Liqā’ Allāh (pertemuan dengan Allah) – sebuah perjumpaan ruhani puncak yang paling dinantikan. Dalam Al-Qur’an, keridhaan Allah disebut sebagai karunia tertinggi, “Wa riḍwānun minallāhi akbar” (QS 9:72), yang ditafsirkan ulama termasuk manifestasi ridha Allah dengan menampakkan Diri-Nya kepada ahli jannah. Sufi besar seperti Jalaluddin Rumi mengibaratkan hubungan ruhani hamba dengan Allah laksana ngengat dengan cahaya; jiwa akan terus merindukan “cahaya Wajah-Nya” hingga akhirnya bersatu dalam pandangan penuh kemuliaan. Namun, penting dicatat bahwa dalam doktrin Ahlus Sunnah, ru’yatullah tidak mungkin terjadi di dunia secara kasat mata. Nabi Musa AS pernah memohon “Ya Tuhanku, tampakkanlah (Diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu”, tetapi Allah berfirman, “Engkau takkan sanggup melihat-Ku (di dunia)” (QS Al-A’raf 7:143). Menurut para ulama, hal ini menunjukkan kemuliaan ru’yah hanya diberikan kelak sebagai kenikmatan akhirat. Adapun Nabi Muhammad ﷺ pernah “melihat” Allah dalam konteks mi’raj menurut sebagian pendapat ulama (dengan mata hati atau dalam bentuk yang Allah kehendaki), namun mayoritas berpendapat beliau menyaksikan Nūr (cahaya) sebagai hijab Allah, bukan Zat Allah secara langsung. Walau demikian, pengalaman spiritual para nabi dan wali – seperti kasyf (tersingkapnya hijab batin) – sering diibaratkan sebagai “melihat” Allah dengan hati (ainul basirah), yakni merasakan kehadiran-Nya sedemikian rupa seolah-olah melihat. Inilah yang dimaksud dalam hadits ihsan: “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya…”.

Dari paparan di atas, jelaslah bahwa memandang Wajah Allah adalah cita-cita tertinggi bagi orang beriman. Secara teologis ia adalah aqidah wajib yang mengandung kabar gembira, dan secara spiritual ia menjadi pendorong kecintaan hamba kepada Sang Khaliq. Harapan akan ru’yatullah membuat Muslim tidak terbuai hanya oleh kenikmatan dunia atau bahkan oleh bayangan surga berupa bidadari dan istana; ada kenikmatan jauh lebih agung yang menanti, yaitu bertemu Allah Ta’ala. Imam Ahmad bin Hanbal pernah berdoa: “Ya Allah, aku memohon kenikmatan memandang Wajah-Mu yang Mulia…”, sebuah doa yang kemudian diajarkan luas dalam khazanah doa Islam. Para ulama salaf pun menutup banyak kitab akidah mereka dengan pembahasan ru’yatullah sebagai penyejuk hati orang beriman. Dengan meyakini dan mendambakan perjumpaan tersebut, seorang Muslim akan terdorong menjalani hidup dengan penuh keikhlasan dan takwa, karena “barangsiapa rindu berjumpa Allah, Allah pun rindu berjumpa dengannya” (HR. Bukhari). Inilah tujuan hidup tertinggi yang mengarahkan seluruh perjuangan spiritual dalam Islam: mencapai ridha Allah dan karunia memandang Wajah-Nya di akhirat kelak, sebuah kenikmatan abadi yang tiada taranya (Memandang Wajah Allah Azza wa Jalla Anugrah Terbesar di Surga | Almanhaj).

Referensi: Kajian di atas merujuk pada sumber-sumber otoritatif, antara lain Ensiklopedi Populer Gereja oleh Adolf Heuken & tulisan Remy Sylado mengenai etimologi Tuhan (Sejarah Nama Tuhan dalam Tradisi Agama Samawi Halaman 3 – Kompasiana.com) (Sejarah Nama Tuhan dalam Tradisi Agama Samawi Halaman 3 – Kompasiana.com), laporan sejarah perumusan Pancasila (Buya Hamka Sebut Sila Ketuhanan yang Maha Esa Akar Pancasila dalam Sejarah Hari Ini, 25 Agustus 1976) (Buya Hamka Sebut Sila Ketuhanan yang Maha Esa Akar Pancasila dalam Sejarah Hari Ini, 25 Agustus 1976), pandangan ulama seperti Buya Hamka (Buya Hamka Sebut Sila Ketuhanan yang Maha Esa Akar Pancasila dalam Sejarah Hari Ini, 25 Agustus 1976), Ibn Arabi (Sufism – Wikipedia), Imam Malik (Sufism – Wikipedia), serta dalil Al-Qur’an dan Hadits tentang ru’yatullah (Memandang Wajah Allah Azza wa Jalla Anugrah Terbesar di Surga | Almanhaj) (Memandang Wajah Allah Azza wa Jalla Anugrah Terbesar di Surga | Almanhaj). Seluruhnya menggarisbawahi kesinambungan konsep ketuhanan esa dalam bahasa, dasar negara, dan teologi Islam, serta menjelaskan bagaimana Rasulullah ﷺ dan visi melihat Allah menjadi puncak konsep spiritual dalam Islam. Dengan pemahaman ini, diharapkan kita semakin menghayati makna Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan beragama, seraya meneladani Rasulullah dalam mencapai tujuan tertinggi berupa perjumpaan dengan Allah SWT. (Tuhan – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas) (Buya Hamka Sebut Sila Ketuhanan yang Maha Esa Akar Pancasila dalam Sejarah Hari Ini, 25 Agustus 1976)

Share this post

April 22, 2025

Copy Title and Content
Content has been copied.

Teruskan membaca

Berikutnya

5 Poin Penting Kunjungan Donald Trump ke Qatar

Donald Trump melanjutkan turnya ke Timur Tengah dengan singgah di Qatar, menandai pertama kalinya seorang presiden Amerika Serikat melakukan kunjungan kenegaraan resmi ke negara Teluk

KoranPost

Administrator WhatsApp

Salam 👋 Apakah ada yang bisa kami bantu?