Kesenjangan Keterampilan AI yang Besar dan Cara Mengatasinya

April 24, 2025

4 menit teks

Munculnya AI bikin banyak orang penasaran, apa sih yang bakal terjadi sama perusahaan dan karyawannya ke depan. Satu hal yang pasti: segalanya lagi berubah.

Biar para pemimpin bisnis dan profesional bisa tetap relevan di dunia kerja yang terus berkembang dengan cepat, Workera merilis laporan 2025 State of Skills Intelligence. Riset ini melibatkan 800 pemimpin Learning & Development (L&D) dan 800 pekerja penuh waktu untuk dapetin sudut pandang mereka soal transformasi tenaga kerja.

Satu benang merahnya? Kemampuan AI itu penting. Tapi, ada perbedaan cara pandang antara atasan dan karyawan soal bagaimana mempelajari AI dan cara terbaik mengembangkannya.

“Mayoritas masalah yang bakal kita temuin ke depan adalah masalah manusia, bukan teknologi,” kata Kian Katanforoosh, pendiri dan CEO Workera. “Teknologinya bakal makin canggih, tapi manusianya masih sering keteteran buat nyusul.”

Keterampilan AI lagi dibutuhkan banget

AI sekarang udah ada di hampir semua sektor bisnis dan bisa banget bantu banyak profesional dalam menjalankan pekerjaannya sehari-hari. Karena itu, perusahaan makin suka kasih peluang ke karyawan yang udah punya kemampuan buat pakai AI secara efektif.

“Sebagai manajer, kalo aku mau kasih proyek ke seseorang, aku bakal pilih yang udah jago AI, soalnya rasanya kayak ngasih proyek ke tim, bukan cuma satu orang,” ucap Katanforoosh.

Survei menunjukkan 88% pemimpin bisnis lebih memprioritaskan keterampilan AI dibanding yang lain untuk promosi atau penugasan kerja. Selain itu, 84% responden lebih memilih kemampuan AI yang sudah terbukti dibandingkan gelar pendidikan saat rekrutmen.

Keterampilan AI juga masuk hitungan waktu menentukan jumlah karyawan, dengan 88% pemimpin bisnis di perusahaan yang punya 5.000—9.999 karyawan bilang AI jadi faktor penting, dibandingkan 73% di perusahaan dengan lebih dari 10.000 karyawan. Tapi, 80% pimpinan L&D perusahaan percaya AI malah akan membuat jumlah karyawan bertambah, bukan berkurang.

Karyawan ternyata punya pandangan berbeda banget. Survei menunjukkan 54% karyawan merasa nggak yakin perusahaannya benar-benar menghargai skill AI, hanya 4% yang merasa skill AI selalu jadi prioritas waktu promosi, dan 47% percaya kemampuan AI nggak terlalu ngaruh sama karir mereka.

Angka-angka ini nunjukkin ada jarak antara kepercayaan atasan dan persepsi karyawan, yang berarti pemimpin bisnis belum nyampe banget komunikasiin pentingnya AI buat kemajuan bisnis dan karir. Lebih dari setengah (57%) karyawan rasa atasan mereka kurang bagus ngajarin strategi AI perusahaan dan tujuan pengembangan skill AI.

Katanforoosh bilang, perbedaan ini salah satunya karena dorongan yang berbeda antara atasan dan karyawan, sehingga nilai yang dirasakan juga beda banget.

“Pemimpin yang pegang transformasi digital cenderung kasih optimisme, bilang bahwa orang-orang keren banget soal AI dan udah ngelakuin hal keren,” kata Katanforoosh. “Tapi karyawan lihat kenyataan di lapangan, jadi mereka lebih realistis.”

Alhasil, muncul perbedaan soal seberapa siap perusahaan mereka untuk benar-benar beradaptasi dengan AI. Hanya 22% karyawan yang yakin perusahaannya bakal siap AI sepenuhnya dalam dua tahun ke depan, sementara 63% pemimpin bisnis yakin perusahaan mereka bakal siap AI di periode yang sama.

Hasil riset ini juga menunjukkan, nggak mampu beradaptasi sama skill baru bikin perusahaan gampang ketinggalan. Ada 49% pemimpin bilang perusahaannya udah lumayan tertinggal dari kompetitor karena belum bisa reskilling atau upskilling dengan baik.

Jadi, apa yang bisa dilakukan perusahaan buat nutup jarak ini dan bikin adopsi AI makin lancar? Workera nemu jawabannya ada di konsep yang mereka sebut Verified Skills Intelligence.

Verified Skills Intelligence

Biasanya, skill karyawan dinilai dari yang mereka laporkan sendiri atau yang manajer kira-kira tahu berdasarkan CV, riwayat kerja, atau pelatihan yang udah diikutin. Perusahaan sering ngambil keputusan penting soal pengembangan atau penempatan kerja dari info kayak gini, tapi kadang hasilnya nggak akurat.

“Kita lihat CV kamu, data pekerjaan, sama proyek yang kamu pegang, terus kita nilai kamu punya skill tertentu, akhirnya kamu dikasih proyek itu. Padahal sebenernya mungkin skill kamu jauh lebih banyak,” jelas Katanforoosh.

Baca juga: Kenapa etika AI itu penting banget dan gimana cara ngelakuinnya dengan benar

Dari analisis Workera terhadap lebih dari 22.000 tes adaptif di platform mereka, cuma 11% karyawan yang benar menilai kemampuannya. Hampir 7 dari 10 salah memperkirakan kemampuan mereka sendiri. Tapi, 85% pimpinan L&D yakin sama data skill yang dilaporkan sendiri oleh karyawan.

Kata Katanforoosh, salah satu alasannya karena “kita nggak tahu apa yang kita nggak tahu”, jadi orang suka terlalu percaya diri soal kemampuannya. Sebaliknya, ada juga yang meremehkan diri karena rendah hati atau nggak pede. Intinya, data akhirnya jadi kurang pas.

Menurut Workera, Verified Skills Intelligence bisa bantu dengan cara menguji skill karyawan langsung lewat serangkaian tes. Cara ini ngurangin tebak-tebakan dan kasih data yang lebih akurat ke pemimpin perusahaan buat ambil keputusan, termasuk soal pengembangan skill.

“Verified Skills Intelligence itu lebih tepat, detail, dan kasih kesempatan ke karyawan buat buktiin, misal, ‘Saya belajar AI di luar kerjaan, dan siap pegang proyek ini walau profil kerja saya belum nunjukkin, coba kasih saya kesempatan,'” kata Katanforoosh.

Pimpinan L&D yang disurvei mengharapkan verifikasi skill bisa bantu pengambilan keputusan berbasis data (45%), ngasih dampak ke karyawan biar makin betah (43%), dan bikin pelatihan lebih efisien dan personal (41%). Manfaat lain yang disebutkan: karir lebih terarah, proses onboarding lebih cepat, dan nutup kesenjangan skill yang krusial.

Ke depannya gimana?

Walaupun laporan ini bilang hasil investasi dari program pembelajaran belum kelihatan jelas untuk 69% pemimpin L&D, Katanforoosh menyarankan perusahaan harus lebih serius soal pelatihan: “Kalau kamu pikir sudah cukup melatih karyawan, mungkin kenyataannya masih kurang.”

Data riset dukung hal ini. Waktu karyawan ditanya apakah mereka dapat pelatihan khusus AI dari perusahaan selama 12 bulan terakhir, cuma 25% yang bilang pernah dapet kesempatan itu.

Tapi, pemimpin bisnis harus bisa pastiin karyawannya siap menghadapi perubahan biar hasil investasi di teknologi benar-benar nyata.

“Setiap satu dolar investasi di teknologi, kamu mungkin butuh investasi 5 dolar di orang-orangnya, kalau nggak, teknologi baru itu nggak akan benar-benar berguna,” kata Katanforoosh.

Katanforoosh juga bilang langkah pertama yang bisa diambil perusahaan adalah benchmarking dulu kondisi sekarang. Setelah itu, buat rencana aksi soal pelatihan ulang (upskilling) dan rekrutmen, sesuai kebutuhan bisnis.

https://www.zdnet.com/article/the-great-ai-skills-disconnect-and-how-to-fix-it/

Share this post

April 24, 2025

Copy Title and Content
Content has been copied.

Teruskan membaca

Berikutnya

KoranPost

Administrator WhatsApp

Salam 👋 Apakah ada yang bisa kami bantu?